Sudah agak lama sebenarnya saya
'menyimpan' tema tulisan -- tentang mertua -- ini, untuk bisa dimunculkan dalam
'Secangkir Teh'. Ya, alasannya banyak. Salah satunya, menunggu momentum Hari
Ibu, supaya pas dengan suasana dimana banyak orang berlomba-lomba memuliakan
sosok ibu, pada hari yang istimewa itu. Setidaknya, menurut saya, (ibu) mertua
itu bagian dari orang tua, yang juga wajib dimuliakan.
Terus terang, sampai saat ini
saya tidak habis fikir dengan 'pandangan' di masyarakat, bahwa mertua --
terutama ibu dari istri/suami -- selalu digambarkan dengan sosok yang (maaf)
nyinyir dan selalu ikut campur urusan anak dan menantunya. Coba perhatikan di
film atau sinetron kita, penggambaran mertua selalu stereotype, yaitu wanita tua cerewet, keras kepala, pemarah, dan
mau menang sendiri. Pokoknya, wanita berlidah tajam. Demikian juga di dongeng,
ibu mertua selalu digambarkan dari sisi negatifnya, sejajar dengan ibu tiri
yang diposisikan sebagai wanita jahat.
Saya tak hendak 'menggugat'
penggambaran yang salah kaprah tersebut. Cuma, kalau toh benar sosok ibu mertua mempunyai sifat seperti itu, pasti ada
alasan kenapa itu dilakukan. Karena, sebenarnya ada sisi positif dari sifat
yang digambarkan secara verbal tersebut. Meski, ironisnya, sisi positif itu
tidak pernah dipaparkan dengan jelas, sehingga tanpa disadari, image ibu mertua
yang nyinyir tadi makin melekat di masyarakat.
Sisi positifnya, menurut saya,
adalah rasa sayang -- yang kadang memang berlebih -- dan 'ketakutan' orang tua
(baca: ibu) terhadap anak. Benar, takut anaknya tidak bisa menjalani bahtera
rumah tangga dengan lancar, sehingga kadang nampak selalu ikut campur semua
urusan. Hal manusiawi, kalau orang tua 'melindungi' anaknya, walau tanpa disadari
kalau anaknya sudah dewasa dan berhak mengatur rumah tangga sendiri.
Kalau mau jujur, siapapun yang
sudah menjalani rumah tangga, pasti 'pernah' merasakan kasih sayang tulus dari
sosok ibu mertua. Entah itu mengajarkan cara merawat bayi, mengajar memasak,
atau bahkan membantu mengasuh anak cucu, tanpa pamrih. Kalau ada kesan cerewet
dan banyak mengatur, tentu itu bagian dari kasih sayang orangtua yang
menginginkan hal terbaik bagi anaknya. Harus dipahami, itu adalah sifat
normatif orang tua yang tak rela 'kehilangan' anak untuk 'diambil' menantunya.
Tak lebih dari itu.
Sebagai ilustrasi, saya pernah
membaca status teman di facebook yang
begitu emosional menulis rasa terima kasihnya pada ibu mertua yang telah
membantu 'menuntun' dan mengarahkan biduk rumah tangganya, sehingga keluarganya
bisa rukun dan langgeng. Bahkan, di status panjang itu, juga terungkap rasa
takjub pada mertuanya yang sederhana dan berpendidikan rendah, tetapi mampu
menjadikan ke-7 putra-putrinya jadi sarjana, yang salah satunya adalah
suaminya.
Juga, ada satu pembaca 'Secangkir
Teh' yang curhat bahwa dia betapa hormat dan salut pada ibu mertuanya, karena
berhasil mendidik cucu-cucunya menjadi anak yang santun, penurut dan hormat
pada orangtua. Padahal, pembaca ini -- wanita karier yang sibuk dengan
pekerjaannya, demikian juga suaminya -- sudah mencoba dengan berbagai metode
mengasuh anak, tapi tidak berhasil 'menaklukkan' ke-3 anaknya. Justeru di
tangan ibu mertua yang sederhana, anak-anaknya menjadi anak sholeh dan sholihah.
Apakah dua contoh kasus diatas
hanya unsur kebetulan? Atau, barangkali ada pembaca yang sinis bilang, "Ah
itu kan terjadi pada sebagian kecil keluarga saja. Masih lebih banyak yang
konflik dengan mertua." Yup,
bisa jadi benar. Tetapi sebaliknya, tidak dapat dipungkiri, bahwa seberapa
kecilnya itu, peran (ibu) mertua pasti 'sempat' mewarnai perjalanan sebuah
rumah tangga anaknya. Tentu dalam koridor positif.
Jadi, sungguh keterlaluan -- dan
kejam -- kalau 'lidah' mertua digambarkan begitu tajam, seperti nama tanaman
hias yang keras dan ada duri di ujungnya. Saya jadi penasaran, siapa yang
ngasih nama 'lidah mertua' pada daun pedang-pedangan tersebut. Pasti dia nanti
'kualat' pada (ibu) mertuanya. Lho?
0 komentar:
Posting Komentar