Tadinya, saat 'berita' ini muncul
di media online beberapa hari lalu, saya bacanya sambil tersenyum. Lha hiya,
hanya masalah 'mendoan' -- yang dipatenkan secara perorangan oleh Fudji Wong,
yang asli Purwokerto -- koq ya diributkan. Begitu yang ada di benak saya. Tapi,
nyatanya tidak seperti yang saya bayangkan, karena dalam dua hari ini, topik
mendoan makin heboh saja.
Eh hiya, supaya tidak penasaran,
'mendoan' itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan: Tempe
yang dipotong tipis lebar, dicelupkan ke dalam adonan tepung berbumbu, kemudian
digoreng setengah matang.
Nah, tentu saja yang paling heboh
atas berita tersebut, seperti biasa, adalah di media sosial. Lalu lintas cuitan
di twitter dan share komentar di facebook, seperti tak ada hentinya. Intinya
sama, mereka -- terutama masyarakat yang berasal dari Banyumas dan sekitarnya
-- tidak bisa menerima keputusan Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Ditjen HAKI) Kemenkum HAM, yang memberikan hak eksklusif 'mendoan'
kepada perorangan, yaitu Fudji Wong.
Karena, dengan diberikan hak
ekslusif ini, maka pemilik -- dalam hal ini Fudji Wong -- bisa saja melakukan
gugatan keperdataan bagi semua orang yang memakai kata 'mendoan'. Baik berdiri
sendiri atau kata mendoan berdiri dengan kata lain. Atau, Fudji Wong akan
menetapkan 'tarif' bagi siapapun yang akan menggunakan kata mendoan. Meski,
Fudji Wong mengaku mendaftarkan merek 'mendoan' semata-mata agar merek
'mendoan' tidak keluar dari Banyumas. Sebab ia tidak ingin makanan khas itu
diakui orang luar Banyumas, bahkan luar negeri.
Bagi saya, apapun alasannya, ini
hal yang aneh, karena mendoan adalah nama makanan tradisional yang (bisa jadi)
sudah ada sejak ratusan tahun silam, dan sudah menjadi bagian dari masyarakat
itu sendiri. Apalagi berdasarkan Pasal 5 UU Merek, kata yang telah menjadi
milik umum (domain public) itu tidak bisa didaftar sebagai merek.
Pasal 5 itu, selengkapnya
berbunyi: Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah
satu unsur: a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; b. tidak memiliki daya
pembeda; c. telah menjadi milik umum; atau d. merupakan keterangan atau
berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Celakanya, sesuai aturan yang
ada, Dirjen HAKI tidak bisa begitu saja mencabutnya, kecuali ada gugatan dari
pihak lain. Dan memang, warga Banyumas yang sangat kaget atas hak eksklusif ini
-- melalui Bupati Banyumas, yang mewakili rakyat Banyumas -- akan melayangkan
protes ke Kemenkum HAM. Dan Bupati Banyumas, juga akan mengadakan lomba memasak
mendoan di Pendopo Kabupaten, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mendoan
adalah makanan khas masyarakat Banyumas.
Cuma, saya melihat ada dua hal
penting yang harus digaris bawahi, dan perlu menjadi perhatian. Pertama,
masyarakat sangat responsif -- dalam menyikapi -- setiap kejadian yang mirip
seperti ini. Apalagi jika melibatkan negara tetangga, yang beberapa kali
melakukan 'klaim' terhadap warisan budaya kita. Padahal, dengan kejadian yang
berulang, mestinya menyiapkan antisipasi dini, yaitu menginventarisir apapun
warisan budaya (dan 'milik umum') yang harus dilindungi, supaya tidak 'direbut'
pihak lain, apalagi oleh perorangan.
Kedua, 'belajar' lebih bijak dan
berfikir jernih sebelum bertindak. Karena, sungguh lucu -- dan agak terlambat?
-- kenapa baru diributkan, sedang pokok masalahnya sendiri sudah terjadi
beberapa tahun silam. Maksudnya, Fudji Wong sebenarnya sudah memegang
sertifikat merek 'mendoan' dari Ditjen HAKI sejak tahun 2010, dan akan berakhir
pada tahun 2018 nanti. Kenapa baru sekarang, setelah lewat lima tahun, semua
(seolah-olah) kebakaran jenggot?
Its okay, sekali mengulang
kesalahan (mungkin) bisa dimaklumi. Tetapi, kalau selalu berulang, pasti ada
'sesuatu' yang salah. Sesuatu -- yang menurut Syahrini -- banyak maknanya.
Mungkin, anda tahu (salah satu) makna 'sesuatu' itu?