Apa aktivitas anda hari ini,
dalam mengisi libur hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, yang tahun ini
menginjak usia ke-70? Hanya di rumah saja, pelesir dengan keluarga ke luar
kota, atau bersama warga sekitar tempat tinggal mengadakan lomba khas 17-an?
Kalau yang terakhir -- mengadakan berbagai macam lomba -- menjadi pilihan anda,
mudah-mudahan panjat pinang, balap karung dan makan krupuk masih menjadi bagian
dari yang dilombakan.
Bukannya apa, kalau anda masih
ingat, dipertengahan bulan Mei 2015 kemarin sempat terjadi 'kegaduhan' kecil
dengan munculnya usulan nyeleneh dari sejarahwan -- sekaligus pendiri Komunitas
Historia Indonesia -- Asep Kambali. Intinya, Komunitas Historia mengusulkan ke
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menghapus dan meminta 'Panjat
Pinang' tidak lagi dilombakan pada perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurutnya, lomba panjat pinang --
balap karung dan makan kerupuk -- ternyata tidak melatih, jauh dari kesan
mendidik dan tidak membangkitkan nasionalisme. Jadi panjat pinang harus
dilarang, karena bentuk lain dari pembodohan yang sengaja diciptakan oleh
penjajah Belanda. Sedangkan balap karung, dikatakannya sebagai lambang tanam
paksa, yang dilakukan Jepang saat menjajah Indonesia.
Lebih lanjut, seperti dikutip
media online di bulan Mei tersebut, Asep Kambali juga menjelaskan bahwa benar
panjat pinang ini memang populer terlebih dulu di Tiongkok, berkaitan dengan
perayaan festival hantu. Namun pada masa dinasti Qing, permainan panjat pinang
ini pernah dilarang pemerintah karena sering timbul korban jiwa.
Dan pada zaman penjajahan Belanda
di Indonesia, lomba panjat pinang ini diadakan jika sedang mengadakan acara
besar seperti hajatan, pernikahan, dan lain-lain. Hadiah yang diperebutkan
biasanya bahan makanan seperti keju, gula, serta pakaian dan kemeja. Maklum,
karena dikalangan pribumi barang-barang seperti ini termasuk mewah, sehingga menjadi
rebutan orang-orang pribumi.
Untungnya Pak Anis Baswedan,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tidak begitu menghiraukan
usulan ini, karena sudah selayaknya diperlukan tinjauan khusus sebelum
memutuskan benar tidaknya alasan Komunitas Historia tersebut.
Pendapat kontra juga banyak
bermunculan -- baik dari para pakar, kolumnis, pejabat publik sampai masyarakat
umum -- yang bisa membuktikan bahwa apa yang disampaikan Komunitas Historia itu
tidaklah benar. Terlalu sumir dan dangkal dasar-dasar yang disampaikannya.
Bahkan, kolumnis di salah satu media online justeru 'menuduh' Asep Kambali-lah
yang telah melakukan pembodohan pada rakyat Indonesia dengan usulan dan dalil
yang kurang akurat.
Bukti ketidak-akuratan dalil yang
mengatakan balap karung adalah simbol tanam paksa dari penjajah Jepang, adalah
adanya dokumen yang menjelaskan bahwa balap karung berasal dari akhir abad
ke-18, sekitar masa Perang Revolusi. Dituliskan, saat itu tentara Inggris dan
warga desa melompat-lompat dengan karung kentang untuk membunuh waktu. Hingga
hari ini, balap karung masih hidup di Eropa dan Amerika untuk kegiatan
outbound, BBQ-an atau pesta lingkungan warga.
Apapun itu, menurut saya tidaklah
pada tempatnya seorang sejarahwan -- dengan komunitasnya -- membuat polemik
yang tidak pro-rakyat. Karena permainan panjat pinang, balap karung dan makan
krupuk yang sudah mentradisi selama berpuluh-puluh tahun ini, di masyarakat
hanya dimaknai sebagai bentuk hiburan semata. Saya yakin, tak ada sedikitpun
terbersit baik dari panitia maupun peserta lomba 17-an, bahwa mereka sedang
melakukan 'pembodohan' melalui macam lomba yang dipermasalahkan tersebut.
Janganlah membuat sensasi yang
kontra produktif, disaat mayoritas rakyat -- termasuk saya dan anda mungkin? --
sudah menanggung beban hidup yang semakin berat ini. Biarkan kami, rakyat
Indonesia, menikmati kegembiraan dengan cara (dan permainan) kami sendiri, di
hari kemerdekaan ini.