Hari Senin, sekitar jam 2
dinihari, seusai menjalankan ibadah sholat malam, seperti biasa saya buka-buka blackberry jadul -- yang sudah 5 tahun
terakhir ini menemani saya dengan setia -- untuk melihat apakah ada pesan-pesan
penting yang belum sempat saya baca. Dan nyatanya tidak ada pesan masuk.
Lagian, siapa juga yang iseng kirim pesan malam larut seperti itu?
Cuma, dari deretan beberapa
status terakhir yang muncul, ada satu yang menarik perhatian saya. Yaitu status
dari seorang teman di pulau Lombok, yang nampaknya belum lama ditulis, karena
di status itu tertera jam 01.44 wib -- berarti di Lombok sudah jam 02.44 wita
-- tertulis pendek saja, "demi anak, rela begadang sampai pagi".
Wah, anaknya lagi sakit mungkin,
begitu saya berkesimpulan, sehingga harus dijagain
terus. Penasaran, saya coba kirim pesan untuk memberi suport agar sabar. Ternyata jawabannya justeru bikin saya yang
terkejut: "Anakku pagi ini ikut MOS, ini lagi nyiapin perlengkapan yang
harus dibawa. Aneh2 yang diminta, nyusahin!" Nah lho..?!
Ya, aku baru menyadari, nampaknya
minggu ini masuk minggu-minggu sibuk bagi orangtua yang anaknya mulai masuk
sekolah, terutama yang memulai di kelas awal untuk tingkat SMP dan SMA. Ikut
sibuk, karena anak-anaknya harus memulai dengan Masa Orientasi Sekolah (MOS)
yang identik dengan beban 'tugas aneh' dari panitia di masing-masing sekolah.
Tak beda jauh dengan lomba peringatan 17-an yang identik dengan panjat pinang
dan balap karung, saat MOS pun ritual siswa baru biasanya juga tidak jauh dari
'rambut kepang tujuh' sambil bawa tas dari kantong kresek.
Itu baru dari tampak luarnya.
Biasanya aktivitas MOS di dalam lingkungan sekolah lebih 'meriah' lagi, mulai
dari permainan-permainan ringan sampai aktivitas fisik yang dibungkus dalam
koridor pembinaan mental dan disiplin, yang dilaksanakan oleh panitia, yaitu
para pengurus OSIS, yang diperkenalkan sebagai 'senior'. Dalam tahap inilah
biasanya mulai muncul benturan-benturan yang disebabkan tingkat ke-ego-an
panitia yang ingin kelihatan eksis dan berwibawa di mata yuniornya, sehingga
tanpa disadari muncul kekerasan dalam konteks tertentu.
Memang sih, dalam beberapa tahun
terakhir -- sejak ada himbauan dari instansi terkait agar MOS tidak memunculkan
kekerasan fisik dalam pelaksanaannya -- kegiatan pengenalan lingkungan sekolah
pada siswa baru sudah mulai lebih 'manusiawi' dan banyak berganti dengan pengenalan
sekolah dengan segala aktivitas dan prestasinya, baik akademik maupun
ekstrakurikulernya.
Tapi, benarkah kita, para orang
tua sudah toleran dan bisa menerima kondisi seperti yang ada saat ini? Bisa
hiya, bisa tidak. Seperti status salah satu orang tua yang anaknya sedang ikut
MOS senin pagi kemarin -- kali ini saya baca di facebook -- dengan penuh harap bapak ini menulis yang intinya
"semoga MOS tahun ini tidak lagi ada bully
terhadap siswa baru".
Artinya, dari dua contoh kasus
'status' yang saya ungkap diatas, bahwa sebenarnya (sebagian) orangtua sudah
maklum akan kegiatan MOS, dengan segala atribut dan eksesnya. Terbukti orangtua
-- meski dengan terpaksa dan jengkel -- bersusah payah memenuhi keperluan
anaknya agar tidak 'dihukum' di sekolah. Tapi disisi lain, orangtua juga punya
harapan agar MOS tidak memberatkan siswa baru dengan tugas yang 'aneh-aneh'
maupun pem-bully-an secara fisik dan
psikis. Benar tidak ada bully secara
fisik -- seperti push up, scot jump,
lari keliling lapangan, atau dijemur di panas terik -- tapi bully secara psikis masih tetap
berjalan, seperti 'mempermalukan' siswa dengan membawa atribut yang nyeleneh tadi. Pasti secara psikis
batinnya tertekan selama perjalanan dari rumah ke sekolah bukan?
Ya sudah, urusan MOS biarkan
diatur para pemegang kebijakan yang berkompeten di bidang pendidikan, pasti
beliau-beliau lebih pintar dan punya solusi terbaiknya. Kami, para orangtua,
cuma (dan selalu) berharap agar pendidikan mental dan budi pekerti anak didik
di sekolah tidak 'diawali' hal yang salah di awalnya. Itu saja.